Sabtu, 29 Desember 2012

Meluruskan Pemahaman Tabu dalam Hubungan Suami Isteri



Masih terdapat perdebatan seputar hukum melihat kemaluan isteri/suami. Sebagian kaum Muslimin menganggap hal itu terlarang, dan sebagian lainnya menganggapnya boleh. Walhasil masih terdapat kontroversi tentang boleh-tidaknya suami/isteri melihat kemaluan pasangannya. Untuk meluruskan hal yang masih menjadi perdebatan dalam masyarakat kaum Muslimin itu, Yusuf Qordhowi dalam bukunya “Fatwa-Fatwa Kontemporer” memberikan penjelasan panjang-lebar. 

Fuqoha kaliber internasional itu mengawali bahasannya dengan mengutip kitab Tanwirul Abshar dan syarahnya ad-Durrul Mukhtar, dari kitab-kitab Hanafiyah, tentang bolehnya suami melihat apa saja pada isterinya. Kitab-kitab itu mengisyaratkan bolehnya melihat isteri, baik yang lahir maupun yang tersembunyi, bahkan terhadap kemaluannya sekalipun, dengan syahwat maupun tanpa dengan syahwat. 

Namun dalam ad-Durrul juga disebutkan; “Dan yang lebih utama adalah meninggalkannya, karena melihat kemaluan itu bisa menjadikan orang mudah lupa. Bahkan ada yang mengatakan dapat menjadikan seseorang melemah daya penglihatannya.”

Syaikh Qordhowi membantah pendapat di atas. Penjelasan tersebut menurutnya, berarti memberi illat (solusi) dengan illat-illat yang tidak syar’iyah, karena tidak ada nash yang menerangkan demikian baik dari Al-Kitab maupun As-Sunnah. Maka dilihat dari sudut keilmiahan, yang demikian itu tertolak serta tidak tidak ada hubungan yang rasional dan faktual antara sebab dan akibat. 

Untuk menguatkan pandangan tentang lebih utama tidak melihat kemaluan pihak lain, di dalam kitab al-Hidayah dikemukakan suatu hadits.
”Apabila salah seorang di antara kamu mencampuri isterinya, maka hendaklah sedapat mungkin ia menutup kemaluannya, dan janganlah mereka bertelanjang bulat seperti keledai.”
Namun Ibnu Umar berpendapat; “Lebih utama melihat kemaluan (pihak lain), karena hal itu lebih dapat menghasilkan kenikmatan.”

Selanjutnya Yusuf Qordhowi mengutip kata-kata Abu Yusuf, sebagai berikut. “Dan diriwayatkan dari Abu Yusuf, saya pernah bertanya kepada Imam Abu Hanifah mengenai seorang laki-laki yang menyentuh kemaluan isterinya, dan si isteri menyentuh kemaluan suami untuk membangkitkan nafsunya. Apakah yang demikian itu terlarang? Beliau menjawab; “Tidak, dan saya berharap pahalanya semakin besar.”

Barangkali beliau (Imam Hanafi) merujuk pada hadits sahih berikut;
”Pada kemaluan setiap orang di antara kamu itu ada sedekah. Para sahabat bertanya; “Wahai Rasulullah apakah jika salah seorang di antara kami melepaskan syahwatnya (mencampuri isterinya) itu mendapat pahala?” Beliau menjawab; “Benar. Bukankah kalau dia meletakkannya di tempat yang haram dia berdosa? Demikian pula jika dia meletakkannya di tempat yang halal, maka dia mendapat pahala. Apakah kamu menghitung kejelekan saja tanpa menghitung kebaikan?”
Adapun hadits yang dijadikan dalil dalam kitab al-Hidayah - yang melarang suami isteri bertelanjang bulat ketika bercampur – tidak dapat dijadikan hujjah karena dhoif.

Sementara Ibnu Hazm menolak keras pendapat yang bertentangan dengan firman Allah surat Al Mu’minun ayat 5-6. Bunyinya sebagai berikut; Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” 

Dalam kitabnya al-Muhalla, Ibnu Hazm berkata; “Halal bagi seorang laki-laki melihat kemaluan isterinya dan budak perempuan yang halal digaulinya. Demikian pula si isteri dan budaknya itu halal melihat kemaluannya, tidak makruh sama sekali.”

Dalilnya ialah riwayat-riwayat yang masyhur dari Aisyah, Ummu Salamah, dan Maimunah – ibu-ibu kaum mukmin rodhiyallahu anhuma – bahwa mereka pernah mandi janabat bersama Rasulullah saw, dalam satu bejana.

Dalam riwayat Maimunah dijelaskan bahwa Nabi saw tidak mengenakan sarung, sebab dalam riwayat itu dikatakan bahwa beliau memasukkan tangan beliau ke dalam bejana lalu menuangkan air ke atas kemaluannya dan mencucinya dengan tangan kiri beliau.
Maka tidaklah tepat apabila berpaling kepada pendapat lain, setelah adanya keterangan demikian tersebut.

Sedang hadits yang dijadikan alasan oleh Ibnu Hazm itu tertera dalam Shahih al-Bukhari dari Ibnu Abbas, dari Maimunah Ummul Mu’minin, ia berkata;
”Aku pernah menutupi Nabi saw (dengan tabir) ketika beliau sedang mandi jinabat, lalu beliau mencuci kedua tangan beliau, lantas menuangkan air dengan tangan kanannya atas tangan kirinya. Kemudian beliau mencuci kemaluannya dan apa yang mengenainya.” 

Diriwayatkan juga dalam Shahih al-Bukhari, dari Aisyah, ia berkata; “Aku pernah mandi bersama Nabi saw dalam sebuah bejana (bak mandi) yang bernama al-Faraq.
Bolehnya suami melihat kemaluan isterinya, diperkuat oleh Qordhowi dengan mengutip pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar. Dalam bukunya Fathul Bari, Ibnu Hajar berkata;
“Hal ini diperkuat oleh riwayat Ibnu Hibban dari Sulaiman bin Musa bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum laki-laki melihat kemaluan isterinya, lalu beliau berkata; Aku bertanya kepada Atha’, lalu Atha’ menjawab; Aku bertanya kepada Aisyah, kemudian Aisyah mengemukakan hadits tersebut di atas menurut maknanya.” (sulthoni)


Sumber : eramuslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pasang Sumbernya : http://aneka-info05.blogspot.com//